Senin, 26 September 2011

Gejolak Kenaikan Harga BBM Dunia sudah Permanen & Fundamental

Indonesia harus serius waspadai efek domino gejolak politik di Kawasan Timur Tengah, terkait melambungnya harga minyak dunia yang masif dan permaneng dalam sebulan terakhir ini. Gejolak harga minyak dunia, yang telah menembus USD 120 per barel, juga merupakan stimulus dari rentang waktu peningkatan konsumsi dunia, yang tak linier dengan peningkatan produksi, ”Dari aspek produksi dan konsumsi dalam negeri, kondisi energi Indonesia sudah demikian kritis dan perlu diantisipasi secara erius,” kata Ketua Umum Asosisasi Perusahaan Minyak dan Gas Bumi Indonesia (ASPERMIGAS) yang juga penulis buku: Memerangi Sindrom Kegagalan Negara, 2009 Ir Effendi Siradjuddin.


Mengutip analisa pakar ekonomi dunia, Dr Nouril Roubini di Davos dalam World Economic Forum, Maret 2011, bahwa ancaman permanen terbesar dunia saat ini adalah, tidak ketersediaan dan tingginya harga energi, pangan, akibat tingginya inflasi dibanyak negara, bukan soal lingkungan seperti yang asumsi banyak orang. Dampak kedua, potensi kerusuhan sosial yang masif, karena membengkaknya jumlah negara miskin. “Kerawanan energi dan pangan, akan menuju pada situasi kegagalan negara (failed state), bahkan merontokkan negara (collapsed state),” jelas Roubini.


Menurut Effendi, sejarah empat kali lonjakan harga minyak dunia selalu disertai naiknya harga pangan dan inflasi. “Saat harga minyak mencapai 147 dolar per barel (bph), ditahun 2008,” jelas Effensi, gejolak inflasi berhasil diatasi Arab Saudi, yang memompa produksinya hingga 2,5 juta bph. “Spare capacity dunia sebanyak 8,5 juta bph, sementara konsumsi minyak dunia berkisar 85 juta bph, lebih kecil dari produksi, karenanya tidak bersifat permanen,” urainya.


Di tahun 2011, situasi jelas berbeda, “Konsumsi dan produksi, praktis hampir sama atau sama, sekitar 88-89 juta bph, dengan spare capacity dunia sekitar 5 juta bph didominasi Arab Saudi 8,5 juta bph dengan spare capacity sekitar 2,5-3,5 juta bph,” ungkapnya, defisitnya lebih bersifat permanen.


Menengok konsumsi minyak dunia, pada tahun 2010 pertambahan, konsumsi dunia mencapai 2,7 juta bph, angka tersebut cenderung bertambah, tahun 2011 dan seterusnya sekitar 1,5-2 juta bph. Dan dalam 3-4 tahun ke depan, spare capacity dunia, praktis akan menjadi nol. “Ini jelas berdampak pada psikologis kenaikan harga,” terang Effendi, dan diprediksikan, beberapa negara eksportir akan mendahulukan kebutuhan dalam negeri yang semakin besar, dengan menyimpannya sebagai cadangan strategis bagi keamanan negara.


Bahkan dalam 5 hingga 20 tahun ke depan, konsumsi minyak dunia akan mencapai 120-130 juta barel per hari (bph), diprediksikan oleh Dr. Hubbert sebagai Hubbert Peak, bahwa tingkat produksi tertinggi hanya mencapai 105-110 juta bph, “Ini artinya, kebutuhan energi dunia akan defisit 15-20 juta bph,” jelas Effendi.


Effendi menuturkan, bahwa ancaman simultan yang masif dan permanen, sudah berada didepan mata, “Ini akan sangat mengerikan,” ungkapnya. Menurutnya, ada dua skenario yang akan terjadi. Pertama, bila efek domino timur tengah berlanjut, maka dalam hitungan bulanan akan mampu merontokkan banyak negara. Kedua, bila tidak berlanjut, maka dalam hitungan tahun, akan berakibat fatal bagi rakyat dibanyak negara.


Langkah melepaskan diri dari ketergantungan energi fosil, sebenarnya sudah dilakukan dibanyak negara didunia, dengan pemanfaatan energi alternatif, seperti panas bumi, angin, surya, nuklir dan lainya. Namun realisasinya, tak mampu menuntaskan persoalan pemenuhan kebutuhan energi dunia.


Energi nuklir, mungkin menjadi jawaban yang mampu memenuhi kebutuhan energi dalam skala besar. Namun untuk mengembangkannya, bukan perkara mudah. Selain teknologi yang patut mumpuni, dibutuhkan pula rentang waktu 10-20 tahun dalam merealisasikannya.



Di Indonesia, program energi alternatif yang ditargetkan 20%, baru terealisir sekitar 5%. Karena untuk mencapai 20% energi alternatif dibutuh waktu 15 tahun, “Meskipun pemanfaatan energi alternatif diseluruh dunia di totalkan, hanya 20% kebutuhan dunia, masih belum mampu menggantikan minyak dan menyuplai kebutuhan energi dunia,” terang Effendi.



“Dalam 10 tahun mendatang,” terang Effendi, banyak negara ekportir minyak dunia akan berlomba memenuhi kebutuhan energi dalam negerinya, sekalipun bagi negara-negara OPEC karena meningkatnya kebutuhan energi dimasing-masing negera ekportir.



Dengan terbatasnya spare capacity, diprediksi akan habis dalam 3-5 tahun mendatang. Artinya, defisit produksi dunia akan terjadi, dan bermuara pada meningkatnya harga minyak mentah dan BBM dan ketersediaan energi, “Bisa jadi, meskipun sebuah negara banyak uang, tapi tidak bisa membeli minyak, karena memang tidak ada barang yang tersedia di pasar untuk dibeli,” jelas Effendi.



Terobosoan besar



Menyadari ledakan harga tinggi dan kelangkaan permanen energi dan pangan dunia, berpotensi kerusuhan bahkan merontokkan negara, sejak 40 tahun silam, semua negara penghasil minyak secara konsisten mengambil langkah-langkah kongkrit. Dibuktikan sudah dikuasai kembali sekitar 87% produksi dunia, dan sekitar 97% cadangan dunia dari tangan asing.



Kondisi Indonesia ironis dan paradoks dan sangat memprihatinkan, 80% produksi tetap dikuasai asing, praktis tidak berubah sejak 30 tahun lalu, ditengah keberhasilan Pertamina, Medco, Energi Mega Persada dan lusinan perusahaan nasional didukung perusahaan jasa dan barang nasional yang sukses menaikkan produksi melampaui produksi ketika dipegang asing. Keraguan, ketidaktegasan, inkonsistensi, dan ketidakpercayaan diri menjadi pangkal lemahnya sikap politik Indonesia dalam mengelola sumber daya alamnya.



Saat ini, Indonesia mengalami defisit minyak sekitar 1 juta bph, dan bisa meningkat hingga 3 juta bph dalam 5 tahun kedepan, dan meningkat hingga 5 juta bph ditahun 2020 mendatang. Sementara kemampuan produksi Indonesia hanya 950 ribu bph, dengan konsumsi hingga 1,4 juta bph, “Dari total produksi 950 ribu bph saja, separuhnya adalah hak asing,” tegas Effendi.


Belajarlah dari kegagalan kebijakan energi 40 tahun Amerika, pemboros dan pengimpor BBM terbesar dunia pemborosan BBM besar-besaran akibat kegagalan kebijakan transportasi masal sejak 1973 ketika Nixon mencanangkan hemat energi, 8 kali ganti presiden praktis tanpa hasil, belajarlah dari Perancis dan Brasil saat ini tidak mengimpor BBM sama sekali, hasil transportasi masal dan sukses diversifikasi.


Karena cadangan batubara, gas (LNG) dan panas bumi yang terbesar dalam target pembauran energi 2005-2025, dan ancaman masif ketidaktersediaan BBM sudah didepan mata, percepatan proyek 2 x 10.000 MW, infrastruktur LNG/CNG, panas bumi, percepat pencapaian. Caranya? terapkan manajemen satu atap langsung dibawah presiden agar tidak bertele-tele, berikan perlakuan lex specialis untuk energi, berikan insentif besar, tax holiday 10-20 tahun untuk semua diversifikasi energi.



Mempertimbangkan besarnya ancaman global diatas yang bisa terjadi setiap saat serta banyaknya kegagalan kebijakan kemandirian energi di beberapa negara maka bisa dikatakan diperlukan upaya luar biasa negara, kalau gonjang-ganjing politik tidak berkurang, berat bagi pemerintah.



Pertanyaan berikutnya apakah dengan makin besarnya ancaman dimasa yang akan datang pemerintahan yang dihasilkan oleh sistem rekrutmen politik selama 13 tahun reformasi sanggup mengatasinya?



Mungkin melalui sistem rekruitmen penyelenggara negara, dengan pola, “three in one” menjadi alternatif.



Pola three in one, adalah sebuah mekanisme pencalonan presiden, wakil presiden, dan jajaran menteri kabinet yang menjadi kesatuan dalam sebuah paket dalam suksesi kenegaraan. Dan masing-masing paket, akan menawarkan rencana pembangunan lima tahun mendatang, berikut solusi yang komprehensif untuk ditawarkan sebagai jawaban persoalan strategis bangsa, terutama dibidang energi. “Keruntuhan sebuah negara, antara lain disebabkan karena kegagalan seorang pemimpin, untuk peka membaca perubahan dan memutuskan langkah untuk mengantisipasinya,” jelas Effendi.

Tidak ada komentar: