Jumat, 30 September 2011

Konsep Keberpihakan Nasional (National Interest) Abad ke 12 di Eropa yang Protektif dan Nasionalistik (tidak dianjurkan oleh arsitek globalisasi)

Konsep globalisasi saat ini sebagai pencerminan operasionalisasi dari Washington Consensus tahun 1945 dengan dibentuknya Bretton Wood Institution yang kemudian melahirkan IMF, International Monetary Fund, World Bank dan terakhir pada tahun 90-an WTO, World Trade Organization dengan 7 doktrin globalisasi, merupakan sistem yang menganjurkan liberalisasi negara baik di bidang politik, sosial, terutama ekonomi yang sangat liberal, serta dipertegas lagi dengan konsep Global Competitiveness Index (GCI) yang merumuskan 12 pilar atau parameter yang dijadikan ukuran tingkat keterbukaan terhadap investasi yang kesemuanya menghendaki dibukanya pintu investasi bagi asing maupun nasional tanpa membedakannya.

Konsep globalisasi di atas, sangat menyesatkan bagi negara-negara berkembang karena praktis tidak memberikan prioritas atau keberpihakan pada pengembangan kemandirian dan daya saing ekonomi nasional. Konsep ini juga sangat tidak adil karena mempersandingkan perusahaan negara maju yang sangat kompetitif dengan perusahaan negara berkembang di negaranya sendiri, padahal negara maju telah melalui proteksi dan prioritas selama puluhan bahkan ratusan tahun sejak abad ke 15 masa Mercantilism triumvirat pertama (Portugal, Spanyol, Belanda) dan triumvirat ke 2 (Inggris, Prancis, Jerman) bahkan Amerika superpower abad ke 20 melalui prioritas memanfaatkan seluruh sumberdaya atau kekayaan nasional oleh perusahaan nasionalnya, melalui perlindungan atau proteksi atau subsidi, tarif impor yang tinggi bagi produk yang mampu diproduksi dalam negeri serta kebijakan fiskal dan moneter lainnya, diperkuat melalui undang-undang keberpihakan nasional (National Interest Act) yang dimiliki banyak negara maju.

Pemikir-pemikir ekonomi Eropa abad ke 16 dan 17 telah mempertegas fakta diatas, melalui pemikiran-pemikiran keberpihakan nasional Eropa seperti yang bisa disampaikan sebagai The Twin Nine Doctrines (TND) yaitu : Thomas Mun(1571-1641) Nine Doctrines dan Philip W. Von Hornick (1638-1712) Nine Doctrines yang kedua-duanya penganut paham keberpihakan nasional dan masih melihat ekonomi dunia sebagai Zero Sum Game yaitu penguasaan terhadap sumber ekonomi akan menambah kekayaan negara walaupun akan mengurangi sumber ekonomi negara lain yang kemudian menjadi dorongan kolonialisasi bangsa Eropa terhadap Asia-Afrika dan Amerika Latin.

Thomas Mun

Buku Thomas Mun, England’s Treasure by Forraign Trade, or, The Balance of Our Forraign Trade is the Rule of Our Treasure (1664) dipandang sebagai sebuah ringkasan tentang pemikiran Merkantilisme. Sebuah pernyataan pembukuan buku tersebut mengatakan, untuk meningkatkan kekayaan negara , dalilnya adalah : to sell more to strangers yearly than we consume of theirs in value; setiap tahun menjual lebih banyak kepada orang asing ketimbang jumlah nilai barang mereka yang dikonsumsi dalam negeri. Penerapan dalil iniyang benar dapat dibuktikan dengan angka-angka ekspor impor Inggris ketika itu: ekspor mencapai 2.200.000 pound sterling, dibandingkan dengan impor yang hanya mencapai 2 juta pound sterling.

Kesembilan Doktrin Keberpihakan Nasional oleh Thomas Mun kepada Inggris sebagai berikut : kesatu, pengolahan “lahan tidur” untuk meningkatkan produksi pertanian dan menurunkan jumlah impor; kedua, mengurangi konsumsi barang-barang impor; ketiga memperhatikan kebutuhan negara-negara tetangga untuk dipenuhi dengan ekspor negara sendiri; keempat ekspor ke luar negeri harus menggunakan kapal-kapal sendiri ketimbang kapal-kapal asing;

Kelima penggunaan sumber-sumber alam dalam negeri se-efisien mungkin sehingga ada kelebihannya untuk produksi barang impor; keenam peningkatan penangkapan ikan di laut sekitar ketimbang membiarkannya digarap oleh para nelayan Belanda; ketujuh menjadikan Inggris sebuah pusat pengumpulan barang-barang kebutuhan yang dapat didistribusikan ke negara-negara lain; kedelapan mendorong perdagangan dengan daerah-daerah seberang lautan yang jauh agar memperoleh barang-barang yang dibutuhkan dengan harga yang rendah; kesembilan membebaskan pajak ekspor.

Philip W. Von Hornick

Philip W. Von Hornick dari Austria menulis buku Oesterreich uber alles wan es nur will (Austria di atas segala-galanya kalau itu yang dikehendakinya). Inti buku ini adalah : Kekuasaan dan reputasi suatu negara didasarkan pada (1) kelebihan jumlah emas dan perak yang diperolehnya dari surplus neraca perdagangan dengan negara-negara lain; (2) kemampuannya untuk mengisi kebutuhan-kebutuhannya sendiri tanpa bergantung pada negara-negara lain. Untuk mencapai keadaan ini ada sembilan kebijakan yang disarankannya 9 doktrin keberpihakan nasional yang kemudian diterapkan oleh negara-negara Eropa pada abad ke 17.

Kesembilan Doktrin Keberpihakan Nasional oleh Philip W. Von Hornick tersebut adalah : kesatu, sumberdaya alam yang dimiliki harus digunakan sebaik mungkin; kedua, sedapat mungkin barang-barang kebutuhan diproduksi sendiri di dalam negeri; ketiga, penduduk harus didorong pertambahannya dan semua orang harus bekerja; keempat, begitu masuk dari luar negeri, emas dan perak harus dipertahankan dalam negeri, tetapi bukan untuk ditabung melainkan beredar didalam kegiatan produksi dan perdagangan dalam negeri;

Kelima, penduduk harus mengkonsumsi barang produksi dalam negeri, bukan barang impor; keenam, jika harus ada barang yang diimpor, impornya harus dipertukarkan dengan barang lain buatan sendiri, tidak dibayar dengan emas atau perak; ketujuh, Jika ada barang dari luar yang dibutuhkan, yang diimpor adalah barang mentahnya, bukan barang jadi; kedelapan, harus diusahakan ekspor terus menerus, tetapi dalam bentuk barang jadi, bukan barang mentah; kesembilan, tidak boleh ada barang yang diimpor jika ada persediaannya dalam negeri, walaupun mutunya lebih rendah dari mutu luar negeri.

Tujuan antara semua doktrin tersebut adalah surplus neraca perdagangan, yang menghasilkan emas dan perak yang melimpah. Tujuan akhirnya ialah negara nasional yang uber alles: berada diatas semua negara lainnya.

Adam Smith (1723-1790)

Disebut sebagai bapak ekonomi modern Barat dengan bukunya Wealth of Nations, mengeluarkan bantahan terhadap konsep Zero Sum Game diatas dengan memperkenalkan konsep ekonomi terbuka yang kemudian bersama konsep sosial politik yang terbuka yang dibawa oleh Rosseau (1712-1778) dan Voltaire (1694-1778) serta penemuan konsep teknologi modern mesin uap oleh James Watt melambungkan Inggris di dalam pemimpin revolusi industri Eropa pada abad ke 18 dan mengantarkannya menjadi superpower dunia abad ke 19, disusul Amerika dengan revolusi industri Amerika menjadi superpower abad ke 20. Sekaligus menutup abad ke 20 sebagai 300 tahun peradaban Barat menguasai dunia.

Pada zaman Adam Smith merupakan suatu kebiasaan umum bahwa seseorang terpelajar sekalipun, barulah terpandang didalam masyarakat kalau ia pernah mengadakan perjalanan ke Eropa daratan., terutama Prancis. Alasan utamanya ialah karena Prancis ketika itu merupakan pusat pergolakan antara 2 dunia yang berbeda, dunia lama dengan pola pikir lamanya, dunia baru dengan pikiran yang baru yang akhirnya melahirkan berbagai revolusi sepanjang abad XVIII.

Karena itu, Prancis menjadi daya tarik terhadap pelawat dari seluruh Eropa termasuk Inggris. Peluang untuk ke Prancis muncul dari Charles Townsend (1725-1767), seorang politisi Inggris yang menikahi janda dari Duke of Buccleuch yang kaya raya. janda ini mempunyai seorang putra yang perlu dibimbing. Perhatian Townsend jatuh pada Adam Smith yang dikaguminya. Adam Smith disodori peluang menjadi tutor dari anak tiri Townsend, dan tunjangan seumur hidup yang lumayan besarnya. Peluang ini ditangkap oleh Adam Smith. Mereka merasa bahwa pengetahuan yang diperolehnya dari Adam Smith lebih berharga dari jumlah uang kuliah yang sudah diterimakannya kepada Adam Smith.

Dalam kedudukan sebagai tutor, Adam Smith dan anak didiknya mengadakan kunjungan ke Prancis tahun 1764. mereka tinggal selama 18 bulan Toulouse. Kemudian mereka ke Prancis Selatan, ke Jenewa, dan akhirnya kembali ke Prancis.

Dalam lawatan ini, Smith berkesempatan bertemu dan berdiskusi dengan berbagai tokoh Prancis seperti Voltaire (1694-1778), Montesquieu (1689-1755), Quesnay (1694-1774) yang ketika itu dijuluki konfusius dari Eropa dan Aristoteles modern, penganjur dan pendiri aliran Fisiokrasi. Smith amat mengagumi Quesnay dan pemikiran kaum Fisiokrasi Prancis. Menurut Smith, kaum Fisiokrasi di Prancis dengan tepat membuktikan bahwa keseluruhan kebijakan Prancis di bidang ekonomi sama sekali keliru.

Mereka berpendapat bahwa : kesatu, tidak boleh ada peraturan yang menghambat impor barang-barang manufaktur dari luar negeri; kedua, tidak tepat memberikan perlindungan terhadap produsen dalam negeri; ketiga tidak tepat menghambat ekspor gandum ke luar negeri; keempat harus diterapkan satu sistem pajak untuk keseluruhan negara; kelima tidak boleh ada pajak terhadap perdagangan antar daerah di dalam negeri.

Dengan segala kekurangannya, kata Adam Smith, mungkin ajaran fisiokrasi adalah yang paling mendeati kebenaran diantara publikasi yang ada tentang ekonomi politik, karena itu penting untuk diperhatikan setiap orang yang ingin mempelajari prinsip-prinsip dasar ilmu yang sangat penting tersebut.

Baca Selengkapnya.....

Senin, 26 September 2011

Gejolak Kenaikan Harga BBM Dunia sudah Permanen & Fundamental

Indonesia harus serius waspadai efek domino gejolak politik di Kawasan Timur Tengah, terkait melambungnya harga minyak dunia yang masif dan permaneng dalam sebulan terakhir ini. Gejolak harga minyak dunia, yang telah menembus USD 120 per barel, juga merupakan stimulus dari rentang waktu peningkatan konsumsi dunia, yang tak linier dengan peningkatan produksi, ”Dari aspek produksi dan konsumsi dalam negeri, kondisi energi Indonesia sudah demikian kritis dan perlu diantisipasi secara erius,” kata Ketua Umum Asosisasi Perusahaan Minyak dan Gas Bumi Indonesia (ASPERMIGAS) yang juga penulis buku: Memerangi Sindrom Kegagalan Negara, 2009 Ir Effendi Siradjuddin.


Mengutip analisa pakar ekonomi dunia, Dr Nouril Roubini di Davos dalam World Economic Forum, Maret 2011, bahwa ancaman permanen terbesar dunia saat ini adalah, tidak ketersediaan dan tingginya harga energi, pangan, akibat tingginya inflasi dibanyak negara, bukan soal lingkungan seperti yang asumsi banyak orang. Dampak kedua, potensi kerusuhan sosial yang masif, karena membengkaknya jumlah negara miskin. “Kerawanan energi dan pangan, akan menuju pada situasi kegagalan negara (failed state), bahkan merontokkan negara (collapsed state),” jelas Roubini.


Menurut Effendi, sejarah empat kali lonjakan harga minyak dunia selalu disertai naiknya harga pangan dan inflasi. “Saat harga minyak mencapai 147 dolar per barel (bph), ditahun 2008,” jelas Effensi, gejolak inflasi berhasil diatasi Arab Saudi, yang memompa produksinya hingga 2,5 juta bph. “Spare capacity dunia sebanyak 8,5 juta bph, sementara konsumsi minyak dunia berkisar 85 juta bph, lebih kecil dari produksi, karenanya tidak bersifat permanen,” urainya.


Di tahun 2011, situasi jelas berbeda, “Konsumsi dan produksi, praktis hampir sama atau sama, sekitar 88-89 juta bph, dengan spare capacity dunia sekitar 5 juta bph didominasi Arab Saudi 8,5 juta bph dengan spare capacity sekitar 2,5-3,5 juta bph,” ungkapnya, defisitnya lebih bersifat permanen.


Menengok konsumsi minyak dunia, pada tahun 2010 pertambahan, konsumsi dunia mencapai 2,7 juta bph, angka tersebut cenderung bertambah, tahun 2011 dan seterusnya sekitar 1,5-2 juta bph. Dan dalam 3-4 tahun ke depan, spare capacity dunia, praktis akan menjadi nol. “Ini jelas berdampak pada psikologis kenaikan harga,” terang Effendi, dan diprediksikan, beberapa negara eksportir akan mendahulukan kebutuhan dalam negeri yang semakin besar, dengan menyimpannya sebagai cadangan strategis bagi keamanan negara.


Bahkan dalam 5 hingga 20 tahun ke depan, konsumsi minyak dunia akan mencapai 120-130 juta barel per hari (bph), diprediksikan oleh Dr. Hubbert sebagai Hubbert Peak, bahwa tingkat produksi tertinggi hanya mencapai 105-110 juta bph, “Ini artinya, kebutuhan energi dunia akan defisit 15-20 juta bph,” jelas Effendi.


Effendi menuturkan, bahwa ancaman simultan yang masif dan permanen, sudah berada didepan mata, “Ini akan sangat mengerikan,” ungkapnya. Menurutnya, ada dua skenario yang akan terjadi. Pertama, bila efek domino timur tengah berlanjut, maka dalam hitungan bulanan akan mampu merontokkan banyak negara. Kedua, bila tidak berlanjut, maka dalam hitungan tahun, akan berakibat fatal bagi rakyat dibanyak negara.


Langkah melepaskan diri dari ketergantungan energi fosil, sebenarnya sudah dilakukan dibanyak negara didunia, dengan pemanfaatan energi alternatif, seperti panas bumi, angin, surya, nuklir dan lainya. Namun realisasinya, tak mampu menuntaskan persoalan pemenuhan kebutuhan energi dunia.


Energi nuklir, mungkin menjadi jawaban yang mampu memenuhi kebutuhan energi dalam skala besar. Namun untuk mengembangkannya, bukan perkara mudah. Selain teknologi yang patut mumpuni, dibutuhkan pula rentang waktu 10-20 tahun dalam merealisasikannya.



Di Indonesia, program energi alternatif yang ditargetkan 20%, baru terealisir sekitar 5%. Karena untuk mencapai 20% energi alternatif dibutuh waktu 15 tahun, “Meskipun pemanfaatan energi alternatif diseluruh dunia di totalkan, hanya 20% kebutuhan dunia, masih belum mampu menggantikan minyak dan menyuplai kebutuhan energi dunia,” terang Effendi.



“Dalam 10 tahun mendatang,” terang Effendi, banyak negara ekportir minyak dunia akan berlomba memenuhi kebutuhan energi dalam negerinya, sekalipun bagi negara-negara OPEC karena meningkatnya kebutuhan energi dimasing-masing negera ekportir.



Dengan terbatasnya spare capacity, diprediksi akan habis dalam 3-5 tahun mendatang. Artinya, defisit produksi dunia akan terjadi, dan bermuara pada meningkatnya harga minyak mentah dan BBM dan ketersediaan energi, “Bisa jadi, meskipun sebuah negara banyak uang, tapi tidak bisa membeli minyak, karena memang tidak ada barang yang tersedia di pasar untuk dibeli,” jelas Effendi.



Terobosoan besar



Menyadari ledakan harga tinggi dan kelangkaan permanen energi dan pangan dunia, berpotensi kerusuhan bahkan merontokkan negara, sejak 40 tahun silam, semua negara penghasil minyak secara konsisten mengambil langkah-langkah kongkrit. Dibuktikan sudah dikuasai kembali sekitar 87% produksi dunia, dan sekitar 97% cadangan dunia dari tangan asing.



Kondisi Indonesia ironis dan paradoks dan sangat memprihatinkan, 80% produksi tetap dikuasai asing, praktis tidak berubah sejak 30 tahun lalu, ditengah keberhasilan Pertamina, Medco, Energi Mega Persada dan lusinan perusahaan nasional didukung perusahaan jasa dan barang nasional yang sukses menaikkan produksi melampaui produksi ketika dipegang asing. Keraguan, ketidaktegasan, inkonsistensi, dan ketidakpercayaan diri menjadi pangkal lemahnya sikap politik Indonesia dalam mengelola sumber daya alamnya.



Saat ini, Indonesia mengalami defisit minyak sekitar 1 juta bph, dan bisa meningkat hingga 3 juta bph dalam 5 tahun kedepan, dan meningkat hingga 5 juta bph ditahun 2020 mendatang. Sementara kemampuan produksi Indonesia hanya 950 ribu bph, dengan konsumsi hingga 1,4 juta bph, “Dari total produksi 950 ribu bph saja, separuhnya adalah hak asing,” tegas Effendi.


Belajarlah dari kegagalan kebijakan energi 40 tahun Amerika, pemboros dan pengimpor BBM terbesar dunia pemborosan BBM besar-besaran akibat kegagalan kebijakan transportasi masal sejak 1973 ketika Nixon mencanangkan hemat energi, 8 kali ganti presiden praktis tanpa hasil, belajarlah dari Perancis dan Brasil saat ini tidak mengimpor BBM sama sekali, hasil transportasi masal dan sukses diversifikasi.


Karena cadangan batubara, gas (LNG) dan panas bumi yang terbesar dalam target pembauran energi 2005-2025, dan ancaman masif ketidaktersediaan BBM sudah didepan mata, percepatan proyek 2 x 10.000 MW, infrastruktur LNG/CNG, panas bumi, percepat pencapaian. Caranya? terapkan manajemen satu atap langsung dibawah presiden agar tidak bertele-tele, berikan perlakuan lex specialis untuk energi, berikan insentif besar, tax holiday 10-20 tahun untuk semua diversifikasi energi.



Mempertimbangkan besarnya ancaman global diatas yang bisa terjadi setiap saat serta banyaknya kegagalan kebijakan kemandirian energi di beberapa negara maka bisa dikatakan diperlukan upaya luar biasa negara, kalau gonjang-ganjing politik tidak berkurang, berat bagi pemerintah.



Pertanyaan berikutnya apakah dengan makin besarnya ancaman dimasa yang akan datang pemerintahan yang dihasilkan oleh sistem rekrutmen politik selama 13 tahun reformasi sanggup mengatasinya?



Mungkin melalui sistem rekruitmen penyelenggara negara, dengan pola, “three in one” menjadi alternatif.



Pola three in one, adalah sebuah mekanisme pencalonan presiden, wakil presiden, dan jajaran menteri kabinet yang menjadi kesatuan dalam sebuah paket dalam suksesi kenegaraan. Dan masing-masing paket, akan menawarkan rencana pembangunan lima tahun mendatang, berikut solusi yang komprehensif untuk ditawarkan sebagai jawaban persoalan strategis bangsa, terutama dibidang energi. “Keruntuhan sebuah negara, antara lain disebabkan karena kegagalan seorang pemimpin, untuk peka membaca perubahan dan memutuskan langkah untuk mengantisipasinya,” jelas Effendi.

Baca Selengkapnya.....

Minggu, 18 April 2010

Pendidikan Indonesia Kemana? [2]

Agenda Besar Transformasi Pendidikan Nasional (Big Bang National Education Transformation)


Langkah-langkah Konkret. Krisis yang dialami bangsa Indonesia, baik ekonomi, politik dan keamanan, belum juga dapat diatasi. Berbagai krisis tersebut berdampak negatif terhadap dunia pendidikan dengan memunculkan langkah-langkah konkret yang baru dalam pendidikan. Orientasi pelayanan pendidikan dengan menggunakan tindakan dan cara berfikir lama tidak dapat terus diterapkan karena sebagian besar sudah tidak sesuai dengan tuntutan dan perkembangan dunia pendidikan Indonesia yang semakin maju dan hal-hal tersebut bahkan mungkin tidak dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan pendidikan dan bangsa sekarang ini.

Cara-cara berpikir dan terobosan-terobosan baru harus diperkenalkan dan diciptakan untuk mengatasi permasalahan pendidikan saat ini dan pada masa mendatang. Berikut ini adalah sejumlah langkah konkret yang seharusnya dilaksanakan:

1. Presiden mengambil inisiatif merombak sistem pendidikan nasional secara menyeluruh menghasilkan blue print road map Pendidikan Nasional 2020. Hal itu dilakukan dengan mengajak stakeholder nasional sektor pendidikan yang mewakili unsur ABG (Akademisi, Bisnis, Government sesuai konsep Indonesia Incorporated), terutama pemakai terbesar produk pendidikan yakni dunia usaha. Juga, penghasil produk pendidikan baik sekolah pemerintah, swasta nasional maupun asing serta kalangan akademisi dan lembaga riset nasional maupun swasta bersama-sama departemen terkait (Departemen Perindustrian, Departemen Pertanian, Kementerian Ristek dan sebagainya, terutama Departemen Pendidikan Nasional). Road map tersebut antara lain menyinkronkan kebutuhan tenaga kerja dengan pendidikan sampai 2020 atau 2025, disesuaikan dengan rencana pembangunan ekonomi dengan target GDP dan man power planning/di setiap sektor. Selanjutnya, menerapkan konsep pendidikan berbasis entrepreneur.

2. Dari 20% anggaran pendidikan dilakukan alokasi anggaran pendidikan, yakni sepertiga untuk SD/SMP/SMA/D3/S1 pendidikan gratis dan bermutu untuk 140 juta rakyat miskin. Lalu sepertiga anggaran untuk kesejahteraan guru dan administrasi, dan sepertiga lagi lagi untuk modal wirausaha sekolah mulai dari SD/SMP/SMA/D3, modal usaha untuk pertanian, kerajinan, toko, workshop, dan koperasi sekolah yang diputar. Sebagian anggaran dipakai untuk training entrepreneur.

3. Mengeluarkan kebijakan bebas pajak bagi perusahaan bisnis yang mendirikan sekolah, yang fasilitas trainingnya dipakai dan pabriknya dipakai untuk on the job training. Sedangkan beasiswa diberi insentif pajak.

4. Mendirikan Entrepreneurship Training Center dimulai di Perguruan Tinggi Utama negeri dan sekolah-sekolah menengah utama negeri maupun swasta, yang memfasilitasi kerja sama antara sekolah, lembaga riset, dan lembaga keuangan serta perusahaan bisnis pendamping. Untuk melakukan bisnis riil.

5. Memperluas kerja sama antara sekolah, lembaga riset, dan sektor bisnis yang utama melakukan bisnis riil.

6. Sosialiasi program entrepreneurship dan incorporated ala P4 ke sekolah-sekolah termasuk kepada guru dan pegawai Diknas agar mempunyai visi dan mental entrepreneur.

7. Mendorong iklim inovasi dan entrepreneur. Kurikulum dan guru-guru disesuaikan dengan konsep incorporated dan kesepakatan nasional dengan dunia usaha. Pelajaran disederhanakan atau cukup lima pelajaran wajib utama saja, misalnya matematika, fisika/kimia, seni/olahraga, ilmu pengetahuan sosial, teori dan praktik wirausaha.

8. Indikator utama keberhasilan sekolah (key performance indicator) adalah 60-70% prestasi akademik, 20% kepemimpinan/seni/olahraga, 20% kemandirian hidup, bagi sekolah maupun anak didiknya.

9. Untuk mengejar ketertinggalan di bidang teknologi, yang merupakan syarat utama peningkatan nilai tambah produk primer atau hulu, perlu memberikan prioritas memperbanyak pendidikan yang berbasis teknologi di tingkat sekolah menengah maupun sekolah tinggi. Hal ini sukses dilakukan di Cina (dari 10 graduate sekolah tinggi terdapat 7 atau 8 graduate technology atau engineering di Cina. Bandingkan dengan Amerika Serikat yang hanya 2 graduate engineering saja), dengan memberikan beasiswa jurusan teknologi, termasuk beasiswa ke luar negeri.

10. Mempercepat pembangunan infrastruktur penguasaan iptek informasi dan teknologi melalui pendidikan model e-learning, pendidikan jarak jauh dengan fasilitas teknologi informasi di setiap sekolah seluruh Indonesia paling lambat tahun 2015 dan memperbanyak terjemahan buku-buku bermutu kelas dunia ke dalam bahasa Indonesia.

Akhir kata, pengembangan pendidikan melalui model entrepreneur menjadi alternatif yang sesuai karena menyiapkan generasi yang punya kemampuan adaptasi terhadap ekspektasi lingkungan, serta dapat menyiapkan mereka agar mampu mengatasi masalah-masalah yang ditemukan dengan cara-cara baru sehingga hasil pendidikan kita tidak hanya menghasilkan generasi pencari kerja namun menjadi generasi mandiri.


Enstate2020

sumber: http://ciputra.org, http://unesco.org

Baca Selengkapnya.....

Sabtu, 13 Maret 2010

Pendidikan Indonesia Kemana? [1]

Every person shall be able to benefit from educational opportunities designed to meet their basic learning needs. These needs comprise both essential learning tools (such as literacy, oral expression, numeracy, and problem solving) and the basic learning content (such as knowledge, skills, values, and attitudes) required by human beings to be able to survive, to develop their full capacities, to live and work in dignity, to participate fully in development, to improve the quality of their lives, to make informed decisions, and to continue learning. The scope of basic learning needs and how they should be met varies with individual countries and cultures, and inevitably, changes with the passage of time.

[Deklarasi Dunia untuk Pendidikan, http://www.unesco.org/education/efa/wef_2000/strategy_sessions/session_III-8.shtml]

Pemerintah memprogramkan pada tahun 2015 perbandingan antara SMK dan SMA menjadi 70:30. Dasar alasan yang dkemukakan, dibeberapa negara maju, negara yang memperioritaskan pertumbuhan SMK dan politeknik, tingkat penganguran di negara tersebut dapat ditekan, sebab, usia angkatan muda di negara tersebut mayoritas memiliki keahlian khusus [http://www.bandarlampungnews.com/]

Memperhatikan dasar alasan pencanangan program tersebut, pemerintah seakan-akan menyatakan bahwa banyaknya pengangguran karena sektor pendidikan selama ini didominasi pendidikan non kejuruan. Apakah benar demikian?

Mengutip deklarasi dunia untuk pendidikan di atas, pendidikan adalah menyiapkan sesorang agar mampu mandiri dengan berkreasi dan berinovasi untuk mengembangkan potensinya agar dapat meningkatkan kualitas hidupnya. Jadi pertanyaanya sebenarnya adalah apakah sekolah di Indonesia saat ini sudah membekali dan menyiapkan anak didiknya agar dapat berdikari dan berinovasi?

Kebijakan pendidikan Indonesia sejalan dengan amanat Mukadimah UUD 1945, yakni kedaulatan politik bangsa, mencapai masyarakat adil makmur, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut menjamin perkembangan dunia. Pencapaian keempat hal tersebut akan sangat bergantung kepada jumlah dan kualitas produk pendidikan nasional.

Bangsa atau negara mandiri, maju, adil dan makmur akan tercapai bilamana rakyat dan individunya juga mandiri dan maju. Mandiri dan maju yang dimaksud tentunya merupakan konsep berpikir yang mandiri, bertindak dan bekerja mandiri, dan hidupnya mandiri serta maju. Artinya bukan hanya mandiri berpikir dengan ilmu (knowledge), tetapi mandiri hidupnya berarti dapat hidup dengan layak, dapat mencukupi kebutuhan hidupnya, kalau berkeluarga dapat mencukupi kebutuhan keluarganya (tidak menganggur).

Konsep Indonesia Incorporated Untuk Pendidikan (Entrepreneur Based Education).

Sebenarnya kalau kita mau melihat produk hasil pendidikan yang bercirikan mampu hidup mandiri yang dihasilkan dari keterlibatan anak-anak dalam kehidupan berwirausaha sejak dini, itu merupakan ciri-ciri seorang entrepreneur. Kita dapat mencontoh keluarga suku-suku yang berkarakter entrepreneur seperti suku Tionghoa, suku Padang, suku Bugis, suku Banjar, dan sebagainya. Hasilnya adalah suku Tionghoa merupakan roda utama ekonomi di banyak negara di dunia seperti di Thailand, Malaysia, Filipina, dan Vietnam, seperti halnya dalam skala kecil suku Bugis di Papua juga menjadi roda utama ekonomi rakyat.

Itu sebabnya sistem pendidikan nasional harus mampu membekali rakyat agar mampu hidup mandiri dan maju serta makmur. Artinya selain berilmu, rakyat juga berketrampilan, mempunyai sifat sabar, pekerja keras, toleran, mampu bekerja sama dalam tim, pantang menyerah, dan terlatih untuk hidup mandiri.

Entrepreneurship adalah sebuah pilihan yang potesial untuk dikembangkan. Pertama banyak fakta di sekitar siswa tentang tokoh-tokoh entrepreneur yang telah banyak memberikan kontribusi pada perkembangan ekonomi dan sosial. Ini dapat menjadi dorongan yang luar biasa Hal yang dipelajari siswa akan menjadi sangat kongkrit dan dapat dilihat sehari-hari. Banyak sumber belajar yang dapat dipakai. Pembelajaran menjadi sebuah proses interaksi yang menarik antara realitas yang ditemukan dengan siswa yang belajar.

Entreprenur mempunyai spirit dan jiwa yang terus ingin tetap maju, berkembang, dan mandiri. Mereka telah memberikan banyak kontribusi pada kemajuan ekonomi bangsa dan memberikan lapangan kerja Kalau sekolah dapat membentuk mindset seperti ini dalam generasi muda, diharapkan mereka sedikit demi sedikit akan berpikir untuk mandiri dalam bidang ekonomi juga. Banyak hal lain yang menarik dan dapat dipelajari dari karakter dan skills seorang entrepreneur seperti keberanian mengambil resiko, strategi mengatasi masalah, kemampuan berkomunikasi, cara mengubah ide menjadi sebuah rencana, cara menangkap dan mengeleloa peluang. Karakter dan skills seperti itu sangat penting untuk dipelajari dan diaplikasikan di semua bidang di era sekarang.

Kedua. Pendidikan entrepreneur sudah banyak diterapkan di banyak negara seperti negara-negara eropa dan Amerika sehingga paling tidak kita ada contoh dalam mengembangkan sistem ini. Sudah ada contoh-contoh yang dapat dijadikan inspirasi pengembangan. Dari sisi metodologi dan kurikulum yang ada, seperti pendekatan belajar inquiry dan problem based, (Barell, 2000) kita dapat mengembangkan sistem penyelenggaraan sekolah dan pembelajaran yang dapat mendukung pendidikan dengan wawasan entrepreneur.

Banyak negara tanpa sumber daya alam yang memadai namun karena SDM nya berkualitas dan berkarakter mandiri dan maju, mampu menjadi negara maju, adil dan makmur serta dihormati negara-negara lain. Negara entrepreneur yang dicita-citakan akan tercapai bilamana manusia Indonesia berkualitas juga berkualifikasi entrepreneur, paling tidak, berkarakter dan berwawasan entrepreneur, baik itu di badan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan juga dalam dunia usaha, lembaga pendidikan, lembaga riset dan lain-lain.

Produk pendidikan tak bermutu membuat manajemen berisiko menjadi negara yang tidak efektif dan mandek. Di sektor ekonomi yang menopang kemakmuran adalah korporasinya yang sangat tergantung kualitas SDM-nya, modal, teknologi, dan pengelolaan manajemen secara ekonomi mikro. Agar dunia usaha, akademisi, dan pemerintah bisa bekerja sama dan berwawasan serta berkemampuan entrepreneur, maka ilmu dan ketrampilan saja tidaklah cukup, harus disertai dengan karakter dan pengalaman sebagai entrepreneur. Itu sebabnya pendidikan berbasis entrepreneur dibutuhkan sejak dini.

Pemerintah yang cerdas seperti Amerika, Singapura, dan Malaysia mengimpor tenaga-tenaga entrepreneur untuk mempercepat perputaran ekonominya. Sebagai gambaran, jumlah suku Tionghoa di Indonesia hanya 4%, namun mampu menjadi tulang punggung perekonomian nasional. Hal itu terjadi karena sejak dari SD, SMP, sampai SMA bahkan sampai tingkat perguruan tinggi mereka, dalam kehidupan sehari-harinya berada dalam lingkungan kewirausahaan sehingga berkarakter dan berkemampuan entrepreneur yaitu trampil, kerja keras, toleransi, jiwa hemat, jiwa penolong, menghargai orang lain, rasa bersaing dan sanggup bekerja sama.

bersambung....


Sumber: http://ciputra.org, http://unesco.org

Baca Selengkapnya.....

Sabtu, 06 Maret 2010

Merebut Kedaulatan Energi [2]


The founding father Soekarno telah meletakkan kebijakan-kebijakan kedaulatan dan kemandirian strategis bangsa bahwa migas harus dikuasai oleh Negara, dan dikelola oleh bangsa sendiri melalui manajemen perusahaan Negara PERTAMINA sebagai satu-satunya wakil pemerintah sebagai kebijakan operasional dari pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, yang memperlakukan migas sebagai bahan strategis ekonomi, pertahanan dan keamanan menyakngkut kehidupan rakyat banyak (UU 22 Tahun 2001 secara inkonstitusional telah menghilangkan peran migas sebagai alat pertahanan dan keamanan Negara, jadi bertentangan dengan pasal 33 Tahun 1945

Dalam upaya percepatan produksi, pada tahun 60-an mengingat keterbatasan modal dan tekhnologi serta tenaga ahli maka sementara perusahaan asing dimanfaatkan sebagai kontraktor PERTAMINA (bukan partner sejajar) mengingat nilai strategis migas diatas. seperti yang tercermin gamblang dalam Perpu Pengganti UU No 44 Tahun 1960 dan dipertegas lagi oleh Pak Harto dalam UU PERTAMINA No 8 Tahun 1971 yang memuat perlakuan khusus lex spesialis, terbukti dalam 25 tahun berhasil menarik investasi serta meningkatkan produksi Migas nasional enam kali lipat hingga 1,7 juta barel perhari akhir tahun 80-an, bahkan UU tersebut terbukti menjadi acuan lebih 20 negara di dunia dan terbukti berhasil pula hingga 87% produksi dunia yang 85 juta barel per hari sudah dikuasai oleh National Oil Company (NOC), untuk memperkuat peran negara, di Cina atau di India misalnya, perusahaan BUMN atau NOC diwakili oleh lebih dari 1 BUMN, oleh karena itu BP MIGAS layak dipertimbangkan sebagai BUMN migas nasional baru mendampingi BUMN PERTAMINA melengkapi UU No 8 tahun 71. Kontrak-kontrak dengan perusahaan asing yang diwakili oleh BUMN merupakan bisnis 2 bisnis seperti amanat Perpu no 44 dan UU No 8 tahun 71.

Merangkul Swasta Nasional

Sesuai dengan amanat Founding Father Ir. Soekarno, maka dukungan terhadap Pertamina untuk menjadi operartor gas di Cepu dan memberikan lapangan migas yang akan berakhir masa kontrak kepada perusahaan Negara wajib untuk didukung oleh semua stakeholders nasional. Bila diperlukan PERTAMINA dapat memanfaatkan perusahaan swasta nasional lainnya yang juga terbukti selalu berhasil menaikkan produksi lapangan eks perusahaan asing, dengan payung Negara bilamana dilakukan secara komprehensif, baik pada aspek kelembagaan, kebijakan dan implementasi di lapangan.lebih terjamin keberhasilannya

Kendati terlambat, Indonesia telah memiliki cetak biru kebijakan energi nasional 2005-2025, namun karena tidak didukung oleh UU migas yang lebih mencerminkan upaya kedaulatan dan kemandirian migas dan energi serta tidak adanya UU keberpihakan nasional (national interest act) seperti dimiliki banyak Negara cerdas, sehingga Indonesia mudah terombang-ambing oleh bangsa-bangsa cerdas yang cenderung mendominasi dan merugikan kepentingan ekonomi kita. Sementara dari sisi implementasi, seperti di Perancis dan Brasil sangat diperlukan konsensus nasional melalui peran kuat Negara khususnya Presiden, lebih mengaktifkan lagi peran Dewan Energi Nasional misal dengan menambah tokoh dunia usaha dan perbankan nasional sehingga secara konkrit perusahaan negara mendapat kepercayaan untuk menjadi tuan rumah di negerinya sendiri, seyogyanya ke depan juga merangkul dan memberdayakan perusahaan Migas Nasional lainnya untuk bersama-sama membangun kedaulatan dan kemandirian energi. BRAVO INDONESIA…

Penulis Alumni ITB, yang juga Ketua Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas)




Baca Selengkapnya.....

Kamis, 25 Februari 2010

Merebut Kedaulatan Energi [1]


Oleh Effendi Siradjuddin


Dalam beberapa bulan terakhir ini banyak digulirkan wacana menarik dari Senayan dalam soal pengelolaan lapangan Migas. Para wakil rakyat di DPR RI menghendaki beberapa lapangan Migas yang akan berakhir masa kontraknya agar dikembalikan kepada perusahaan negara. Bahkan yang cukup menyejukkan para wakil rakyat itu, juga akan mendukung Pertamina untuk menjadi operator gas di Blok Cepu.

Sikap semacam itu, tentu tak hanya melegakan, tetapi juga mencerahkan. Setidaknya itu memberikan harapan, di tengah dominasi asing dalam pengelolaan Migas nasional. Fakta demikian, tentu saja mengusik nurani bangsa ini. Sudah saatnya bangsa ini mulai melakukan evaluasi terhadap kebijakan energi nasional. Kalau tidak, kedaulatan energi bangsa ini di ambang kehancuran.

Dominasi Asing

Kebijakan Migas dalam sepuluh tahun terakhir memang mengalami kemunduran yang ditandai oleh produksi Migas Nasional yang merosot hampir 50%, serta jasa dan barang 85% masih didominasi oleh perusahaan asing. Intervensi pemerintah untuk mendorong pertumbuhan perusahaan Migas Nasional masih sangat minim.

Kuatnya tekanan publik agar perusahaan negara mengambil alih beberapa lapangan Migas yang akan berakhir masa kontrak, dan besarnya dukungan publik agar Pertamina menjadi operator gas di Cepu, jelas merefleksikan munculnya kesadaran nasional, bahwa besarnya dominasi asing dalam pengelolaan Migas tak bisa dibiarkan. Ini bisa menjadi ancamam bagi eksistensi bangsa ini ke depan.

Ambilah contoh, produksi minyak nasional (lifting) sekarang ini sebesar 948.138 barel per hari. 50% produksi Migas Indonesia harus dibawa ke luar oleh perusahaan asing, yang merupakan hak bagian bagi hasil dan pengembalian biaya operasi dan investasi (cost recovery). Untuk memenuhi konsumsi dalam negeri sebesar 1,4 juta barel per hari, Indonesia setidaknya mengimpor minyak satu juta barel per hari senilai hampir 300 trilyun per tahun

Belum lagi, penguasaan di atas mengakibatkan barang dan jasa penunjang nasional juga sangat kecil terhadap belanja modal. Ambilan contoih pada 2007 dari belanja modal di sektor Migas sebesar US 10 miliar penyerapan barang dan jasa penunjang nasional hanya menyerap 10 %. Tak mengherankan bila banyak kantong-kantong kemiskinan terjadi di daerah produksi Migas.

Peran Perusahaan Nasional

Dalam kondisi produksi minyak nasional jalan di tempat, diperkirakan impor minyak akan terus meningkat, mengingat tambahan motor dan mobil tiap tahunya cukup signifikan. Mengingat Konsumsi BBM untuk transportasi itu 70% dari konsumsi nasional. Setiap tahun tambahan motor sebanyak 5 juta unit dan mobil sebanyak 500 unit. Bila satu motor setiap hari konsumsinya 2 liter bensin dan mobil 20 liter bensin, maka dalam lima tahun ke depan, impor minyak nasional bisa meningkat dua kali lipat dari sekarang hampir 600 trilyun (setengah APBN 2010)

Ini bisa menjadi beban berat bagi bangsa ini, mengingat tren harga minyak dunia cenderung meningkat berkemungkinan diatas $100 per barel dalam satu atau dua tahun kedepan. Hal ini dipicu oleh ketidakseimbangan antara produksi dan konsumsi minyak dunia. Sampai dengan tahun 2030 diproyeksikan konsumsi minyak dunia mencapai 130 juta barel per hari. Sementara produksi maximum minyak dunia diproyeksikan hanya sekitar 105 juta barel per hari. Kondisi tersebut yang menyebabkan harga minyak dunia ke depan trennya akan terus meningkat

Bila impor minyak terus meningkat di tengah tren harga minyak dunia yang terus membumbung tinggi, maka itu akan menggerus cadangan devisa nasional. Karena itu, bisa dipahami bila kini muncul desakan publik agar beberapa lapangan migas yang akan berakhir masa kontrak untuk diserahkan pengelolaannya kepada perusahaan negara. Hingga kini terdapat 27 lapangan Migas asing yang akan habis masa kontraknya.

Begitu juga, dukungan terhadap Pertamina untuk menjadi operaror gas di Cepu, tak lain karena publik melihat ini merupakan langkah kongkrit untuk menyelamatkan bangsa ini dari kemungkinan munculnya tragedi Migas di masa mendatang. Belum lagi Exxon sebagai operator minyak di Cepu juga gagal memenuhi target produksi pada 2008

Kuatnya dukungan publik tersebut, juga dilandasi fakta, kini perusahaan nasional juga sudah mulai mampu untuk mengoperasikan lapangan migas. Ambilah contoh dalam akuisisi Offshore North West Java (ONWJ) Pertamina mampu meningkatkan produksi Minyak dari 21 ribu barel per hari menjadi antara 25-26 ribu barel per hari, bahkan pernah mencapai 32 ribu barel per hari. Sementara untuk gas meningkat menjadi 235-240 MMSCFD dari 220 MMSCFD. Hal yang sama juga terjadi di Sukowati Papua, dari sumur tua di Bojonegoro Jatim yang sempat terhenti produksinya , di tangan Pertamina produksinya menjadi 3.000 barel perhari.

Perusahan nasional semacam Pertamina memiliki kemampuan untuk mengoperasionalkan lapangan Migas. Tak berlebihan bila di Blok Cepu, publik juga mendukung Pertamina menjadi operaror gas. Di tangan Pertamina pengembangan dapat lebih cepat, lebih rendah biayanya dan dapat diintegrasikan dengan beberapa proyek di sekitar Blok Cepu yang saat ini sudah berjalan, antara lain: Proyek Pengembangan Gas Jawa (PPGJ), Proyek Pengembangan Gas Tiung Biru, JOB Pertamina Tuban dan Area Lapangan Cepu PT. Pertamina EP. Lebih jauh lagi ditangan perusahaan migas nasional maka belanja barang dan jasa otomatis akan juga dilaksanakan perusahaan jasa dan barang nasional, bagian dari strategi Indonesia Incorporated

Belum lagi dari aspek kelembagaan, praktis UU No 22 tahun 2001, kiranya telah gagal menjadi payung bagi upaya merebut kedaulatan energi. Sebagaimana banyak disuarakan di DPR RI, sudah saatnya UU tersebut direvisi.

bersambung....


Baca Selengkapnya.....