Jumat, 30 September 2011

Konsep Keberpihakan Nasional (National Interest) Abad ke 12 di Eropa yang Protektif dan Nasionalistik (tidak dianjurkan oleh arsitek globalisasi)

Konsep globalisasi saat ini sebagai pencerminan operasionalisasi dari Washington Consensus tahun 1945 dengan dibentuknya Bretton Wood Institution yang kemudian melahirkan IMF, International Monetary Fund, World Bank dan terakhir pada tahun 90-an WTO, World Trade Organization dengan 7 doktrin globalisasi, merupakan sistem yang menganjurkan liberalisasi negara baik di bidang politik, sosial, terutama ekonomi yang sangat liberal, serta dipertegas lagi dengan konsep Global Competitiveness Index (GCI) yang merumuskan 12 pilar atau parameter yang dijadikan ukuran tingkat keterbukaan terhadap investasi yang kesemuanya menghendaki dibukanya pintu investasi bagi asing maupun nasional tanpa membedakannya.

Konsep globalisasi di atas, sangat menyesatkan bagi negara-negara berkembang karena praktis tidak memberikan prioritas atau keberpihakan pada pengembangan kemandirian dan daya saing ekonomi nasional. Konsep ini juga sangat tidak adil karena mempersandingkan perusahaan negara maju yang sangat kompetitif dengan perusahaan negara berkembang di negaranya sendiri, padahal negara maju telah melalui proteksi dan prioritas selama puluhan bahkan ratusan tahun sejak abad ke 15 masa Mercantilism triumvirat pertama (Portugal, Spanyol, Belanda) dan triumvirat ke 2 (Inggris, Prancis, Jerman) bahkan Amerika superpower abad ke 20 melalui prioritas memanfaatkan seluruh sumberdaya atau kekayaan nasional oleh perusahaan nasionalnya, melalui perlindungan atau proteksi atau subsidi, tarif impor yang tinggi bagi produk yang mampu diproduksi dalam negeri serta kebijakan fiskal dan moneter lainnya, diperkuat melalui undang-undang keberpihakan nasional (National Interest Act) yang dimiliki banyak negara maju.

Pemikir-pemikir ekonomi Eropa abad ke 16 dan 17 telah mempertegas fakta diatas, melalui pemikiran-pemikiran keberpihakan nasional Eropa seperti yang bisa disampaikan sebagai The Twin Nine Doctrines (TND) yaitu : Thomas Mun(1571-1641) Nine Doctrines dan Philip W. Von Hornick (1638-1712) Nine Doctrines yang kedua-duanya penganut paham keberpihakan nasional dan masih melihat ekonomi dunia sebagai Zero Sum Game yaitu penguasaan terhadap sumber ekonomi akan menambah kekayaan negara walaupun akan mengurangi sumber ekonomi negara lain yang kemudian menjadi dorongan kolonialisasi bangsa Eropa terhadap Asia-Afrika dan Amerika Latin.

Thomas Mun

Buku Thomas Mun, England’s Treasure by Forraign Trade, or, The Balance of Our Forraign Trade is the Rule of Our Treasure (1664) dipandang sebagai sebuah ringkasan tentang pemikiran Merkantilisme. Sebuah pernyataan pembukuan buku tersebut mengatakan, untuk meningkatkan kekayaan negara , dalilnya adalah : to sell more to strangers yearly than we consume of theirs in value; setiap tahun menjual lebih banyak kepada orang asing ketimbang jumlah nilai barang mereka yang dikonsumsi dalam negeri. Penerapan dalil iniyang benar dapat dibuktikan dengan angka-angka ekspor impor Inggris ketika itu: ekspor mencapai 2.200.000 pound sterling, dibandingkan dengan impor yang hanya mencapai 2 juta pound sterling.

Kesembilan Doktrin Keberpihakan Nasional oleh Thomas Mun kepada Inggris sebagai berikut : kesatu, pengolahan “lahan tidur” untuk meningkatkan produksi pertanian dan menurunkan jumlah impor; kedua, mengurangi konsumsi barang-barang impor; ketiga memperhatikan kebutuhan negara-negara tetangga untuk dipenuhi dengan ekspor negara sendiri; keempat ekspor ke luar negeri harus menggunakan kapal-kapal sendiri ketimbang kapal-kapal asing;

Kelima penggunaan sumber-sumber alam dalam negeri se-efisien mungkin sehingga ada kelebihannya untuk produksi barang impor; keenam peningkatan penangkapan ikan di laut sekitar ketimbang membiarkannya digarap oleh para nelayan Belanda; ketujuh menjadikan Inggris sebuah pusat pengumpulan barang-barang kebutuhan yang dapat didistribusikan ke negara-negara lain; kedelapan mendorong perdagangan dengan daerah-daerah seberang lautan yang jauh agar memperoleh barang-barang yang dibutuhkan dengan harga yang rendah; kesembilan membebaskan pajak ekspor.

Philip W. Von Hornick

Philip W. Von Hornick dari Austria menulis buku Oesterreich uber alles wan es nur will (Austria di atas segala-galanya kalau itu yang dikehendakinya). Inti buku ini adalah : Kekuasaan dan reputasi suatu negara didasarkan pada (1) kelebihan jumlah emas dan perak yang diperolehnya dari surplus neraca perdagangan dengan negara-negara lain; (2) kemampuannya untuk mengisi kebutuhan-kebutuhannya sendiri tanpa bergantung pada negara-negara lain. Untuk mencapai keadaan ini ada sembilan kebijakan yang disarankannya 9 doktrin keberpihakan nasional yang kemudian diterapkan oleh negara-negara Eropa pada abad ke 17.

Kesembilan Doktrin Keberpihakan Nasional oleh Philip W. Von Hornick tersebut adalah : kesatu, sumberdaya alam yang dimiliki harus digunakan sebaik mungkin; kedua, sedapat mungkin barang-barang kebutuhan diproduksi sendiri di dalam negeri; ketiga, penduduk harus didorong pertambahannya dan semua orang harus bekerja; keempat, begitu masuk dari luar negeri, emas dan perak harus dipertahankan dalam negeri, tetapi bukan untuk ditabung melainkan beredar didalam kegiatan produksi dan perdagangan dalam negeri;

Kelima, penduduk harus mengkonsumsi barang produksi dalam negeri, bukan barang impor; keenam, jika harus ada barang yang diimpor, impornya harus dipertukarkan dengan barang lain buatan sendiri, tidak dibayar dengan emas atau perak; ketujuh, Jika ada barang dari luar yang dibutuhkan, yang diimpor adalah barang mentahnya, bukan barang jadi; kedelapan, harus diusahakan ekspor terus menerus, tetapi dalam bentuk barang jadi, bukan barang mentah; kesembilan, tidak boleh ada barang yang diimpor jika ada persediaannya dalam negeri, walaupun mutunya lebih rendah dari mutu luar negeri.

Tujuan antara semua doktrin tersebut adalah surplus neraca perdagangan, yang menghasilkan emas dan perak yang melimpah. Tujuan akhirnya ialah negara nasional yang uber alles: berada diatas semua negara lainnya.

Adam Smith (1723-1790)

Disebut sebagai bapak ekonomi modern Barat dengan bukunya Wealth of Nations, mengeluarkan bantahan terhadap konsep Zero Sum Game diatas dengan memperkenalkan konsep ekonomi terbuka yang kemudian bersama konsep sosial politik yang terbuka yang dibawa oleh Rosseau (1712-1778) dan Voltaire (1694-1778) serta penemuan konsep teknologi modern mesin uap oleh James Watt melambungkan Inggris di dalam pemimpin revolusi industri Eropa pada abad ke 18 dan mengantarkannya menjadi superpower dunia abad ke 19, disusul Amerika dengan revolusi industri Amerika menjadi superpower abad ke 20. Sekaligus menutup abad ke 20 sebagai 300 tahun peradaban Barat menguasai dunia.

Pada zaman Adam Smith merupakan suatu kebiasaan umum bahwa seseorang terpelajar sekalipun, barulah terpandang didalam masyarakat kalau ia pernah mengadakan perjalanan ke Eropa daratan., terutama Prancis. Alasan utamanya ialah karena Prancis ketika itu merupakan pusat pergolakan antara 2 dunia yang berbeda, dunia lama dengan pola pikir lamanya, dunia baru dengan pikiran yang baru yang akhirnya melahirkan berbagai revolusi sepanjang abad XVIII.

Karena itu, Prancis menjadi daya tarik terhadap pelawat dari seluruh Eropa termasuk Inggris. Peluang untuk ke Prancis muncul dari Charles Townsend (1725-1767), seorang politisi Inggris yang menikahi janda dari Duke of Buccleuch yang kaya raya. janda ini mempunyai seorang putra yang perlu dibimbing. Perhatian Townsend jatuh pada Adam Smith yang dikaguminya. Adam Smith disodori peluang menjadi tutor dari anak tiri Townsend, dan tunjangan seumur hidup yang lumayan besarnya. Peluang ini ditangkap oleh Adam Smith. Mereka merasa bahwa pengetahuan yang diperolehnya dari Adam Smith lebih berharga dari jumlah uang kuliah yang sudah diterimakannya kepada Adam Smith.

Dalam kedudukan sebagai tutor, Adam Smith dan anak didiknya mengadakan kunjungan ke Prancis tahun 1764. mereka tinggal selama 18 bulan Toulouse. Kemudian mereka ke Prancis Selatan, ke Jenewa, dan akhirnya kembali ke Prancis.

Dalam lawatan ini, Smith berkesempatan bertemu dan berdiskusi dengan berbagai tokoh Prancis seperti Voltaire (1694-1778), Montesquieu (1689-1755), Quesnay (1694-1774) yang ketika itu dijuluki konfusius dari Eropa dan Aristoteles modern, penganjur dan pendiri aliran Fisiokrasi. Smith amat mengagumi Quesnay dan pemikiran kaum Fisiokrasi Prancis. Menurut Smith, kaum Fisiokrasi di Prancis dengan tepat membuktikan bahwa keseluruhan kebijakan Prancis di bidang ekonomi sama sekali keliru.

Mereka berpendapat bahwa : kesatu, tidak boleh ada peraturan yang menghambat impor barang-barang manufaktur dari luar negeri; kedua, tidak tepat memberikan perlindungan terhadap produsen dalam negeri; ketiga tidak tepat menghambat ekspor gandum ke luar negeri; keempat harus diterapkan satu sistem pajak untuk keseluruhan negara; kelima tidak boleh ada pajak terhadap perdagangan antar daerah di dalam negeri.

Dengan segala kekurangannya, kata Adam Smith, mungkin ajaran fisiokrasi adalah yang paling mendeati kebenaran diantara publikasi yang ada tentang ekonomi politik, karena itu penting untuk diperhatikan setiap orang yang ingin mempelajari prinsip-prinsip dasar ilmu yang sangat penting tersebut.

Baca Selengkapnya.....

Senin, 26 September 2011

Gejolak Kenaikan Harga BBM Dunia sudah Permanen & Fundamental

Indonesia harus serius waspadai efek domino gejolak politik di Kawasan Timur Tengah, terkait melambungnya harga minyak dunia yang masif dan permaneng dalam sebulan terakhir ini. Gejolak harga minyak dunia, yang telah menembus USD 120 per barel, juga merupakan stimulus dari rentang waktu peningkatan konsumsi dunia, yang tak linier dengan peningkatan produksi, ”Dari aspek produksi dan konsumsi dalam negeri, kondisi energi Indonesia sudah demikian kritis dan perlu diantisipasi secara erius,” kata Ketua Umum Asosisasi Perusahaan Minyak dan Gas Bumi Indonesia (ASPERMIGAS) yang juga penulis buku: Memerangi Sindrom Kegagalan Negara, 2009 Ir Effendi Siradjuddin.


Mengutip analisa pakar ekonomi dunia, Dr Nouril Roubini di Davos dalam World Economic Forum, Maret 2011, bahwa ancaman permanen terbesar dunia saat ini adalah, tidak ketersediaan dan tingginya harga energi, pangan, akibat tingginya inflasi dibanyak negara, bukan soal lingkungan seperti yang asumsi banyak orang. Dampak kedua, potensi kerusuhan sosial yang masif, karena membengkaknya jumlah negara miskin. “Kerawanan energi dan pangan, akan menuju pada situasi kegagalan negara (failed state), bahkan merontokkan negara (collapsed state),” jelas Roubini.


Menurut Effendi, sejarah empat kali lonjakan harga minyak dunia selalu disertai naiknya harga pangan dan inflasi. “Saat harga minyak mencapai 147 dolar per barel (bph), ditahun 2008,” jelas Effensi, gejolak inflasi berhasil diatasi Arab Saudi, yang memompa produksinya hingga 2,5 juta bph. “Spare capacity dunia sebanyak 8,5 juta bph, sementara konsumsi minyak dunia berkisar 85 juta bph, lebih kecil dari produksi, karenanya tidak bersifat permanen,” urainya.


Di tahun 2011, situasi jelas berbeda, “Konsumsi dan produksi, praktis hampir sama atau sama, sekitar 88-89 juta bph, dengan spare capacity dunia sekitar 5 juta bph didominasi Arab Saudi 8,5 juta bph dengan spare capacity sekitar 2,5-3,5 juta bph,” ungkapnya, defisitnya lebih bersifat permanen.


Menengok konsumsi minyak dunia, pada tahun 2010 pertambahan, konsumsi dunia mencapai 2,7 juta bph, angka tersebut cenderung bertambah, tahun 2011 dan seterusnya sekitar 1,5-2 juta bph. Dan dalam 3-4 tahun ke depan, spare capacity dunia, praktis akan menjadi nol. “Ini jelas berdampak pada psikologis kenaikan harga,” terang Effendi, dan diprediksikan, beberapa negara eksportir akan mendahulukan kebutuhan dalam negeri yang semakin besar, dengan menyimpannya sebagai cadangan strategis bagi keamanan negara.


Bahkan dalam 5 hingga 20 tahun ke depan, konsumsi minyak dunia akan mencapai 120-130 juta barel per hari (bph), diprediksikan oleh Dr. Hubbert sebagai Hubbert Peak, bahwa tingkat produksi tertinggi hanya mencapai 105-110 juta bph, “Ini artinya, kebutuhan energi dunia akan defisit 15-20 juta bph,” jelas Effendi.


Effendi menuturkan, bahwa ancaman simultan yang masif dan permanen, sudah berada didepan mata, “Ini akan sangat mengerikan,” ungkapnya. Menurutnya, ada dua skenario yang akan terjadi. Pertama, bila efek domino timur tengah berlanjut, maka dalam hitungan bulanan akan mampu merontokkan banyak negara. Kedua, bila tidak berlanjut, maka dalam hitungan tahun, akan berakibat fatal bagi rakyat dibanyak negara.


Langkah melepaskan diri dari ketergantungan energi fosil, sebenarnya sudah dilakukan dibanyak negara didunia, dengan pemanfaatan energi alternatif, seperti panas bumi, angin, surya, nuklir dan lainya. Namun realisasinya, tak mampu menuntaskan persoalan pemenuhan kebutuhan energi dunia.


Energi nuklir, mungkin menjadi jawaban yang mampu memenuhi kebutuhan energi dalam skala besar. Namun untuk mengembangkannya, bukan perkara mudah. Selain teknologi yang patut mumpuni, dibutuhkan pula rentang waktu 10-20 tahun dalam merealisasikannya.



Di Indonesia, program energi alternatif yang ditargetkan 20%, baru terealisir sekitar 5%. Karena untuk mencapai 20% energi alternatif dibutuh waktu 15 tahun, “Meskipun pemanfaatan energi alternatif diseluruh dunia di totalkan, hanya 20% kebutuhan dunia, masih belum mampu menggantikan minyak dan menyuplai kebutuhan energi dunia,” terang Effendi.



“Dalam 10 tahun mendatang,” terang Effendi, banyak negara ekportir minyak dunia akan berlomba memenuhi kebutuhan energi dalam negerinya, sekalipun bagi negara-negara OPEC karena meningkatnya kebutuhan energi dimasing-masing negera ekportir.



Dengan terbatasnya spare capacity, diprediksi akan habis dalam 3-5 tahun mendatang. Artinya, defisit produksi dunia akan terjadi, dan bermuara pada meningkatnya harga minyak mentah dan BBM dan ketersediaan energi, “Bisa jadi, meskipun sebuah negara banyak uang, tapi tidak bisa membeli minyak, karena memang tidak ada barang yang tersedia di pasar untuk dibeli,” jelas Effendi.



Terobosoan besar



Menyadari ledakan harga tinggi dan kelangkaan permanen energi dan pangan dunia, berpotensi kerusuhan bahkan merontokkan negara, sejak 40 tahun silam, semua negara penghasil minyak secara konsisten mengambil langkah-langkah kongkrit. Dibuktikan sudah dikuasai kembali sekitar 87% produksi dunia, dan sekitar 97% cadangan dunia dari tangan asing.



Kondisi Indonesia ironis dan paradoks dan sangat memprihatinkan, 80% produksi tetap dikuasai asing, praktis tidak berubah sejak 30 tahun lalu, ditengah keberhasilan Pertamina, Medco, Energi Mega Persada dan lusinan perusahaan nasional didukung perusahaan jasa dan barang nasional yang sukses menaikkan produksi melampaui produksi ketika dipegang asing. Keraguan, ketidaktegasan, inkonsistensi, dan ketidakpercayaan diri menjadi pangkal lemahnya sikap politik Indonesia dalam mengelola sumber daya alamnya.



Saat ini, Indonesia mengalami defisit minyak sekitar 1 juta bph, dan bisa meningkat hingga 3 juta bph dalam 5 tahun kedepan, dan meningkat hingga 5 juta bph ditahun 2020 mendatang. Sementara kemampuan produksi Indonesia hanya 950 ribu bph, dengan konsumsi hingga 1,4 juta bph, “Dari total produksi 950 ribu bph saja, separuhnya adalah hak asing,” tegas Effendi.


Belajarlah dari kegagalan kebijakan energi 40 tahun Amerika, pemboros dan pengimpor BBM terbesar dunia pemborosan BBM besar-besaran akibat kegagalan kebijakan transportasi masal sejak 1973 ketika Nixon mencanangkan hemat energi, 8 kali ganti presiden praktis tanpa hasil, belajarlah dari Perancis dan Brasil saat ini tidak mengimpor BBM sama sekali, hasil transportasi masal dan sukses diversifikasi.


Karena cadangan batubara, gas (LNG) dan panas bumi yang terbesar dalam target pembauran energi 2005-2025, dan ancaman masif ketidaktersediaan BBM sudah didepan mata, percepatan proyek 2 x 10.000 MW, infrastruktur LNG/CNG, panas bumi, percepat pencapaian. Caranya? terapkan manajemen satu atap langsung dibawah presiden agar tidak bertele-tele, berikan perlakuan lex specialis untuk energi, berikan insentif besar, tax holiday 10-20 tahun untuk semua diversifikasi energi.



Mempertimbangkan besarnya ancaman global diatas yang bisa terjadi setiap saat serta banyaknya kegagalan kebijakan kemandirian energi di beberapa negara maka bisa dikatakan diperlukan upaya luar biasa negara, kalau gonjang-ganjing politik tidak berkurang, berat bagi pemerintah.



Pertanyaan berikutnya apakah dengan makin besarnya ancaman dimasa yang akan datang pemerintahan yang dihasilkan oleh sistem rekrutmen politik selama 13 tahun reformasi sanggup mengatasinya?



Mungkin melalui sistem rekruitmen penyelenggara negara, dengan pola, “three in one” menjadi alternatif.



Pola three in one, adalah sebuah mekanisme pencalonan presiden, wakil presiden, dan jajaran menteri kabinet yang menjadi kesatuan dalam sebuah paket dalam suksesi kenegaraan. Dan masing-masing paket, akan menawarkan rencana pembangunan lima tahun mendatang, berikut solusi yang komprehensif untuk ditawarkan sebagai jawaban persoalan strategis bangsa, terutama dibidang energi. “Keruntuhan sebuah negara, antara lain disebabkan karena kegagalan seorang pemimpin, untuk peka membaca perubahan dan memutuskan langkah untuk mengantisipasinya,” jelas Effendi.

Baca Selengkapnya.....