Sabtu, 13 Maret 2010

Pendidikan Indonesia Kemana? [1]

Every person shall be able to benefit from educational opportunities designed to meet their basic learning needs. These needs comprise both essential learning tools (such as literacy, oral expression, numeracy, and problem solving) and the basic learning content (such as knowledge, skills, values, and attitudes) required by human beings to be able to survive, to develop their full capacities, to live and work in dignity, to participate fully in development, to improve the quality of their lives, to make informed decisions, and to continue learning. The scope of basic learning needs and how they should be met varies with individual countries and cultures, and inevitably, changes with the passage of time.

[Deklarasi Dunia untuk Pendidikan, http://www.unesco.org/education/efa/wef_2000/strategy_sessions/session_III-8.shtml]

Pemerintah memprogramkan pada tahun 2015 perbandingan antara SMK dan SMA menjadi 70:30. Dasar alasan yang dkemukakan, dibeberapa negara maju, negara yang memperioritaskan pertumbuhan SMK dan politeknik, tingkat penganguran di negara tersebut dapat ditekan, sebab, usia angkatan muda di negara tersebut mayoritas memiliki keahlian khusus [http://www.bandarlampungnews.com/]

Memperhatikan dasar alasan pencanangan program tersebut, pemerintah seakan-akan menyatakan bahwa banyaknya pengangguran karena sektor pendidikan selama ini didominasi pendidikan non kejuruan. Apakah benar demikian?

Mengutip deklarasi dunia untuk pendidikan di atas, pendidikan adalah menyiapkan sesorang agar mampu mandiri dengan berkreasi dan berinovasi untuk mengembangkan potensinya agar dapat meningkatkan kualitas hidupnya. Jadi pertanyaanya sebenarnya adalah apakah sekolah di Indonesia saat ini sudah membekali dan menyiapkan anak didiknya agar dapat berdikari dan berinovasi?

Kebijakan pendidikan Indonesia sejalan dengan amanat Mukadimah UUD 1945, yakni kedaulatan politik bangsa, mencapai masyarakat adil makmur, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut menjamin perkembangan dunia. Pencapaian keempat hal tersebut akan sangat bergantung kepada jumlah dan kualitas produk pendidikan nasional.

Bangsa atau negara mandiri, maju, adil dan makmur akan tercapai bilamana rakyat dan individunya juga mandiri dan maju. Mandiri dan maju yang dimaksud tentunya merupakan konsep berpikir yang mandiri, bertindak dan bekerja mandiri, dan hidupnya mandiri serta maju. Artinya bukan hanya mandiri berpikir dengan ilmu (knowledge), tetapi mandiri hidupnya berarti dapat hidup dengan layak, dapat mencukupi kebutuhan hidupnya, kalau berkeluarga dapat mencukupi kebutuhan keluarganya (tidak menganggur).

Konsep Indonesia Incorporated Untuk Pendidikan (Entrepreneur Based Education).

Sebenarnya kalau kita mau melihat produk hasil pendidikan yang bercirikan mampu hidup mandiri yang dihasilkan dari keterlibatan anak-anak dalam kehidupan berwirausaha sejak dini, itu merupakan ciri-ciri seorang entrepreneur. Kita dapat mencontoh keluarga suku-suku yang berkarakter entrepreneur seperti suku Tionghoa, suku Padang, suku Bugis, suku Banjar, dan sebagainya. Hasilnya adalah suku Tionghoa merupakan roda utama ekonomi di banyak negara di dunia seperti di Thailand, Malaysia, Filipina, dan Vietnam, seperti halnya dalam skala kecil suku Bugis di Papua juga menjadi roda utama ekonomi rakyat.

Itu sebabnya sistem pendidikan nasional harus mampu membekali rakyat agar mampu hidup mandiri dan maju serta makmur. Artinya selain berilmu, rakyat juga berketrampilan, mempunyai sifat sabar, pekerja keras, toleran, mampu bekerja sama dalam tim, pantang menyerah, dan terlatih untuk hidup mandiri.

Entrepreneurship adalah sebuah pilihan yang potesial untuk dikembangkan. Pertama banyak fakta di sekitar siswa tentang tokoh-tokoh entrepreneur yang telah banyak memberikan kontribusi pada perkembangan ekonomi dan sosial. Ini dapat menjadi dorongan yang luar biasa Hal yang dipelajari siswa akan menjadi sangat kongkrit dan dapat dilihat sehari-hari. Banyak sumber belajar yang dapat dipakai. Pembelajaran menjadi sebuah proses interaksi yang menarik antara realitas yang ditemukan dengan siswa yang belajar.

Entreprenur mempunyai spirit dan jiwa yang terus ingin tetap maju, berkembang, dan mandiri. Mereka telah memberikan banyak kontribusi pada kemajuan ekonomi bangsa dan memberikan lapangan kerja Kalau sekolah dapat membentuk mindset seperti ini dalam generasi muda, diharapkan mereka sedikit demi sedikit akan berpikir untuk mandiri dalam bidang ekonomi juga. Banyak hal lain yang menarik dan dapat dipelajari dari karakter dan skills seorang entrepreneur seperti keberanian mengambil resiko, strategi mengatasi masalah, kemampuan berkomunikasi, cara mengubah ide menjadi sebuah rencana, cara menangkap dan mengeleloa peluang. Karakter dan skills seperti itu sangat penting untuk dipelajari dan diaplikasikan di semua bidang di era sekarang.

Kedua. Pendidikan entrepreneur sudah banyak diterapkan di banyak negara seperti negara-negara eropa dan Amerika sehingga paling tidak kita ada contoh dalam mengembangkan sistem ini. Sudah ada contoh-contoh yang dapat dijadikan inspirasi pengembangan. Dari sisi metodologi dan kurikulum yang ada, seperti pendekatan belajar inquiry dan problem based, (Barell, 2000) kita dapat mengembangkan sistem penyelenggaraan sekolah dan pembelajaran yang dapat mendukung pendidikan dengan wawasan entrepreneur.

Banyak negara tanpa sumber daya alam yang memadai namun karena SDM nya berkualitas dan berkarakter mandiri dan maju, mampu menjadi negara maju, adil dan makmur serta dihormati negara-negara lain. Negara entrepreneur yang dicita-citakan akan tercapai bilamana manusia Indonesia berkualitas juga berkualifikasi entrepreneur, paling tidak, berkarakter dan berwawasan entrepreneur, baik itu di badan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan juga dalam dunia usaha, lembaga pendidikan, lembaga riset dan lain-lain.

Produk pendidikan tak bermutu membuat manajemen berisiko menjadi negara yang tidak efektif dan mandek. Di sektor ekonomi yang menopang kemakmuran adalah korporasinya yang sangat tergantung kualitas SDM-nya, modal, teknologi, dan pengelolaan manajemen secara ekonomi mikro. Agar dunia usaha, akademisi, dan pemerintah bisa bekerja sama dan berwawasan serta berkemampuan entrepreneur, maka ilmu dan ketrampilan saja tidaklah cukup, harus disertai dengan karakter dan pengalaman sebagai entrepreneur. Itu sebabnya pendidikan berbasis entrepreneur dibutuhkan sejak dini.

Pemerintah yang cerdas seperti Amerika, Singapura, dan Malaysia mengimpor tenaga-tenaga entrepreneur untuk mempercepat perputaran ekonominya. Sebagai gambaran, jumlah suku Tionghoa di Indonesia hanya 4%, namun mampu menjadi tulang punggung perekonomian nasional. Hal itu terjadi karena sejak dari SD, SMP, sampai SMA bahkan sampai tingkat perguruan tinggi mereka, dalam kehidupan sehari-harinya berada dalam lingkungan kewirausahaan sehingga berkarakter dan berkemampuan entrepreneur yaitu trampil, kerja keras, toleransi, jiwa hemat, jiwa penolong, menghargai orang lain, rasa bersaing dan sanggup bekerja sama.

bersambung....


Sumber: http://ciputra.org, http://unesco.org

Baca Selengkapnya.....

Sabtu, 06 Maret 2010

Merebut Kedaulatan Energi [2]


The founding father Soekarno telah meletakkan kebijakan-kebijakan kedaulatan dan kemandirian strategis bangsa bahwa migas harus dikuasai oleh Negara, dan dikelola oleh bangsa sendiri melalui manajemen perusahaan Negara PERTAMINA sebagai satu-satunya wakil pemerintah sebagai kebijakan operasional dari pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, yang memperlakukan migas sebagai bahan strategis ekonomi, pertahanan dan keamanan menyakngkut kehidupan rakyat banyak (UU 22 Tahun 2001 secara inkonstitusional telah menghilangkan peran migas sebagai alat pertahanan dan keamanan Negara, jadi bertentangan dengan pasal 33 Tahun 1945

Dalam upaya percepatan produksi, pada tahun 60-an mengingat keterbatasan modal dan tekhnologi serta tenaga ahli maka sementara perusahaan asing dimanfaatkan sebagai kontraktor PERTAMINA (bukan partner sejajar) mengingat nilai strategis migas diatas. seperti yang tercermin gamblang dalam Perpu Pengganti UU No 44 Tahun 1960 dan dipertegas lagi oleh Pak Harto dalam UU PERTAMINA No 8 Tahun 1971 yang memuat perlakuan khusus lex spesialis, terbukti dalam 25 tahun berhasil menarik investasi serta meningkatkan produksi Migas nasional enam kali lipat hingga 1,7 juta barel perhari akhir tahun 80-an, bahkan UU tersebut terbukti menjadi acuan lebih 20 negara di dunia dan terbukti berhasil pula hingga 87% produksi dunia yang 85 juta barel per hari sudah dikuasai oleh National Oil Company (NOC), untuk memperkuat peran negara, di Cina atau di India misalnya, perusahaan BUMN atau NOC diwakili oleh lebih dari 1 BUMN, oleh karena itu BP MIGAS layak dipertimbangkan sebagai BUMN migas nasional baru mendampingi BUMN PERTAMINA melengkapi UU No 8 tahun 71. Kontrak-kontrak dengan perusahaan asing yang diwakili oleh BUMN merupakan bisnis 2 bisnis seperti amanat Perpu no 44 dan UU No 8 tahun 71.

Merangkul Swasta Nasional

Sesuai dengan amanat Founding Father Ir. Soekarno, maka dukungan terhadap Pertamina untuk menjadi operartor gas di Cepu dan memberikan lapangan migas yang akan berakhir masa kontrak kepada perusahaan Negara wajib untuk didukung oleh semua stakeholders nasional. Bila diperlukan PERTAMINA dapat memanfaatkan perusahaan swasta nasional lainnya yang juga terbukti selalu berhasil menaikkan produksi lapangan eks perusahaan asing, dengan payung Negara bilamana dilakukan secara komprehensif, baik pada aspek kelembagaan, kebijakan dan implementasi di lapangan.lebih terjamin keberhasilannya

Kendati terlambat, Indonesia telah memiliki cetak biru kebijakan energi nasional 2005-2025, namun karena tidak didukung oleh UU migas yang lebih mencerminkan upaya kedaulatan dan kemandirian migas dan energi serta tidak adanya UU keberpihakan nasional (national interest act) seperti dimiliki banyak Negara cerdas, sehingga Indonesia mudah terombang-ambing oleh bangsa-bangsa cerdas yang cenderung mendominasi dan merugikan kepentingan ekonomi kita. Sementara dari sisi implementasi, seperti di Perancis dan Brasil sangat diperlukan konsensus nasional melalui peran kuat Negara khususnya Presiden, lebih mengaktifkan lagi peran Dewan Energi Nasional misal dengan menambah tokoh dunia usaha dan perbankan nasional sehingga secara konkrit perusahaan negara mendapat kepercayaan untuk menjadi tuan rumah di negerinya sendiri, seyogyanya ke depan juga merangkul dan memberdayakan perusahaan Migas Nasional lainnya untuk bersama-sama membangun kedaulatan dan kemandirian energi. BRAVO INDONESIA…

Penulis Alumni ITB, yang juga Ketua Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas)




Baca Selengkapnya.....