Sabtu, 06 Maret 2010

Merebut Kedaulatan Energi [2]


The founding father Soekarno telah meletakkan kebijakan-kebijakan kedaulatan dan kemandirian strategis bangsa bahwa migas harus dikuasai oleh Negara, dan dikelola oleh bangsa sendiri melalui manajemen perusahaan Negara PERTAMINA sebagai satu-satunya wakil pemerintah sebagai kebijakan operasional dari pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, yang memperlakukan migas sebagai bahan strategis ekonomi, pertahanan dan keamanan menyakngkut kehidupan rakyat banyak (UU 22 Tahun 2001 secara inkonstitusional telah menghilangkan peran migas sebagai alat pertahanan dan keamanan Negara, jadi bertentangan dengan pasal 33 Tahun 1945

Dalam upaya percepatan produksi, pada tahun 60-an mengingat keterbatasan modal dan tekhnologi serta tenaga ahli maka sementara perusahaan asing dimanfaatkan sebagai kontraktor PERTAMINA (bukan partner sejajar) mengingat nilai strategis migas diatas. seperti yang tercermin gamblang dalam Perpu Pengganti UU No 44 Tahun 1960 dan dipertegas lagi oleh Pak Harto dalam UU PERTAMINA No 8 Tahun 1971 yang memuat perlakuan khusus lex spesialis, terbukti dalam 25 tahun berhasil menarik investasi serta meningkatkan produksi Migas nasional enam kali lipat hingga 1,7 juta barel perhari akhir tahun 80-an, bahkan UU tersebut terbukti menjadi acuan lebih 20 negara di dunia dan terbukti berhasil pula hingga 87% produksi dunia yang 85 juta barel per hari sudah dikuasai oleh National Oil Company (NOC), untuk memperkuat peran negara, di Cina atau di India misalnya, perusahaan BUMN atau NOC diwakili oleh lebih dari 1 BUMN, oleh karena itu BP MIGAS layak dipertimbangkan sebagai BUMN migas nasional baru mendampingi BUMN PERTAMINA melengkapi UU No 8 tahun 71. Kontrak-kontrak dengan perusahaan asing yang diwakili oleh BUMN merupakan bisnis 2 bisnis seperti amanat Perpu no 44 dan UU No 8 tahun 71.

Merangkul Swasta Nasional

Sesuai dengan amanat Founding Father Ir. Soekarno, maka dukungan terhadap Pertamina untuk menjadi operartor gas di Cepu dan memberikan lapangan migas yang akan berakhir masa kontrak kepada perusahaan Negara wajib untuk didukung oleh semua stakeholders nasional. Bila diperlukan PERTAMINA dapat memanfaatkan perusahaan swasta nasional lainnya yang juga terbukti selalu berhasil menaikkan produksi lapangan eks perusahaan asing, dengan payung Negara bilamana dilakukan secara komprehensif, baik pada aspek kelembagaan, kebijakan dan implementasi di lapangan.lebih terjamin keberhasilannya

Kendati terlambat, Indonesia telah memiliki cetak biru kebijakan energi nasional 2005-2025, namun karena tidak didukung oleh UU migas yang lebih mencerminkan upaya kedaulatan dan kemandirian migas dan energi serta tidak adanya UU keberpihakan nasional (national interest act) seperti dimiliki banyak Negara cerdas, sehingga Indonesia mudah terombang-ambing oleh bangsa-bangsa cerdas yang cenderung mendominasi dan merugikan kepentingan ekonomi kita. Sementara dari sisi implementasi, seperti di Perancis dan Brasil sangat diperlukan konsensus nasional melalui peran kuat Negara khususnya Presiden, lebih mengaktifkan lagi peran Dewan Energi Nasional misal dengan menambah tokoh dunia usaha dan perbankan nasional sehingga secara konkrit perusahaan negara mendapat kepercayaan untuk menjadi tuan rumah di negerinya sendiri, seyogyanya ke depan juga merangkul dan memberdayakan perusahaan Migas Nasional lainnya untuk bersama-sama membangun kedaulatan dan kemandirian energi. BRAVO INDONESIA…

Penulis Alumni ITB, yang juga Ketua Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas)




Tidak ada komentar: