Kamis, 25 Februari 2010

Merebut Kedaulatan Energi [1]


Oleh Effendi Siradjuddin


Dalam beberapa bulan terakhir ini banyak digulirkan wacana menarik dari Senayan dalam soal pengelolaan lapangan Migas. Para wakil rakyat di DPR RI menghendaki beberapa lapangan Migas yang akan berakhir masa kontraknya agar dikembalikan kepada perusahaan negara. Bahkan yang cukup menyejukkan para wakil rakyat itu, juga akan mendukung Pertamina untuk menjadi operator gas di Blok Cepu.

Sikap semacam itu, tentu tak hanya melegakan, tetapi juga mencerahkan. Setidaknya itu memberikan harapan, di tengah dominasi asing dalam pengelolaan Migas nasional. Fakta demikian, tentu saja mengusik nurani bangsa ini. Sudah saatnya bangsa ini mulai melakukan evaluasi terhadap kebijakan energi nasional. Kalau tidak, kedaulatan energi bangsa ini di ambang kehancuran.

Dominasi Asing

Kebijakan Migas dalam sepuluh tahun terakhir memang mengalami kemunduran yang ditandai oleh produksi Migas Nasional yang merosot hampir 50%, serta jasa dan barang 85% masih didominasi oleh perusahaan asing. Intervensi pemerintah untuk mendorong pertumbuhan perusahaan Migas Nasional masih sangat minim.

Kuatnya tekanan publik agar perusahaan negara mengambil alih beberapa lapangan Migas yang akan berakhir masa kontrak, dan besarnya dukungan publik agar Pertamina menjadi operator gas di Cepu, jelas merefleksikan munculnya kesadaran nasional, bahwa besarnya dominasi asing dalam pengelolaan Migas tak bisa dibiarkan. Ini bisa menjadi ancamam bagi eksistensi bangsa ini ke depan.

Ambilah contoh, produksi minyak nasional (lifting) sekarang ini sebesar 948.138 barel per hari. 50% produksi Migas Indonesia harus dibawa ke luar oleh perusahaan asing, yang merupakan hak bagian bagi hasil dan pengembalian biaya operasi dan investasi (cost recovery). Untuk memenuhi konsumsi dalam negeri sebesar 1,4 juta barel per hari, Indonesia setidaknya mengimpor minyak satu juta barel per hari senilai hampir 300 trilyun per tahun

Belum lagi, penguasaan di atas mengakibatkan barang dan jasa penunjang nasional juga sangat kecil terhadap belanja modal. Ambilan contoih pada 2007 dari belanja modal di sektor Migas sebesar US 10 miliar penyerapan barang dan jasa penunjang nasional hanya menyerap 10 %. Tak mengherankan bila banyak kantong-kantong kemiskinan terjadi di daerah produksi Migas.

Peran Perusahaan Nasional

Dalam kondisi produksi minyak nasional jalan di tempat, diperkirakan impor minyak akan terus meningkat, mengingat tambahan motor dan mobil tiap tahunya cukup signifikan. Mengingat Konsumsi BBM untuk transportasi itu 70% dari konsumsi nasional. Setiap tahun tambahan motor sebanyak 5 juta unit dan mobil sebanyak 500 unit. Bila satu motor setiap hari konsumsinya 2 liter bensin dan mobil 20 liter bensin, maka dalam lima tahun ke depan, impor minyak nasional bisa meningkat dua kali lipat dari sekarang hampir 600 trilyun (setengah APBN 2010)

Ini bisa menjadi beban berat bagi bangsa ini, mengingat tren harga minyak dunia cenderung meningkat berkemungkinan diatas $100 per barel dalam satu atau dua tahun kedepan. Hal ini dipicu oleh ketidakseimbangan antara produksi dan konsumsi minyak dunia. Sampai dengan tahun 2030 diproyeksikan konsumsi minyak dunia mencapai 130 juta barel per hari. Sementara produksi maximum minyak dunia diproyeksikan hanya sekitar 105 juta barel per hari. Kondisi tersebut yang menyebabkan harga minyak dunia ke depan trennya akan terus meningkat

Bila impor minyak terus meningkat di tengah tren harga minyak dunia yang terus membumbung tinggi, maka itu akan menggerus cadangan devisa nasional. Karena itu, bisa dipahami bila kini muncul desakan publik agar beberapa lapangan migas yang akan berakhir masa kontrak untuk diserahkan pengelolaannya kepada perusahaan negara. Hingga kini terdapat 27 lapangan Migas asing yang akan habis masa kontraknya.

Begitu juga, dukungan terhadap Pertamina untuk menjadi operaror gas di Cepu, tak lain karena publik melihat ini merupakan langkah kongkrit untuk menyelamatkan bangsa ini dari kemungkinan munculnya tragedi Migas di masa mendatang. Belum lagi Exxon sebagai operator minyak di Cepu juga gagal memenuhi target produksi pada 2008

Kuatnya dukungan publik tersebut, juga dilandasi fakta, kini perusahaan nasional juga sudah mulai mampu untuk mengoperasikan lapangan migas. Ambilah contoh dalam akuisisi Offshore North West Java (ONWJ) Pertamina mampu meningkatkan produksi Minyak dari 21 ribu barel per hari menjadi antara 25-26 ribu barel per hari, bahkan pernah mencapai 32 ribu barel per hari. Sementara untuk gas meningkat menjadi 235-240 MMSCFD dari 220 MMSCFD. Hal yang sama juga terjadi di Sukowati Papua, dari sumur tua di Bojonegoro Jatim yang sempat terhenti produksinya , di tangan Pertamina produksinya menjadi 3.000 barel perhari.

Perusahan nasional semacam Pertamina memiliki kemampuan untuk mengoperasionalkan lapangan Migas. Tak berlebihan bila di Blok Cepu, publik juga mendukung Pertamina menjadi operaror gas. Di tangan Pertamina pengembangan dapat lebih cepat, lebih rendah biayanya dan dapat diintegrasikan dengan beberapa proyek di sekitar Blok Cepu yang saat ini sudah berjalan, antara lain: Proyek Pengembangan Gas Jawa (PPGJ), Proyek Pengembangan Gas Tiung Biru, JOB Pertamina Tuban dan Area Lapangan Cepu PT. Pertamina EP. Lebih jauh lagi ditangan perusahaan migas nasional maka belanja barang dan jasa otomatis akan juga dilaksanakan perusahaan jasa dan barang nasional, bagian dari strategi Indonesia Incorporated

Belum lagi dari aspek kelembagaan, praktis UU No 22 tahun 2001, kiranya telah gagal menjadi payung bagi upaya merebut kedaulatan energi. Sebagaimana banyak disuarakan di DPR RI, sudah saatnya UU tersebut direvisi.

bersambung....


Baca Selengkapnya.....